Metodologi Penulisan
Sejarah Islam:
Telaah Terhadap Metode Miskawaih
Oleh : Sri Ernawati*
Pendahuluan
Miskawaih
adalah seorang sejarahwan muslim abad IV H, hidup pada masa dinasti
Buwaihiyah. Lahir pada tahun 320 H. di Ray
salah satu daerah di Iran. Nama aslinya adalah Ahmad bin Muhammad bin
Ya’kub, sering disebut dengan Miskawaih. Disamping itu Miskawaih
juga mempunyai beberapa gelar diantaranya, Pertama
: al-Khazin, karena
dikenal sebagai orang yang jujur dalam menjaga perpustakaan penguasa
dinasti Buwaihiyah. Kedua
: al-Razi,
dinisbatkan kepada nama tempat kelahirannya -Ray
menjadi Razi, untuk mempermudah dalam
pengucapan-.
Miskawaih
mulai meniti karier sebagai sekretaris pribadinya Abi Muhammad al-Muhallabi
-Kepala Konsuler Dinasti Buwaihiyah-, kemudian setelah al-Muhallabi
meninggal, Maskawaih kembali ke Ray dan
bertemu dengan al-Amid -Kepala staff Dinasti Buwaihiyah-. Miskawaih
diangkat sebagai penjaga perpustakaan hingga masa al-Fatah (tahun 366
H). Setelah meninggalnya al-Fatah, Miskawaih meninggalkan Ray
dan menuju Syiraz -Parsi
ibu kota kerajaan Buwaihiyah. Di Parsi Miskawaih bertemu dengan
pembesar kerajaan Buwaihi. Melihat sifat kearifan yang ada pada diri
Miskawaih, raja mengangkatnya sebagai kepala bidang perpustakaan
terbesar yang berada di pusat kerajaan dan merupakan salah satu
perpustakaan terbesar dalam sejarah islam yang menyimpan beberapa
karya ulama-ulama pendahulu.
Kematian raja
Buwaihi pada tahun 372 H. menjadikan Miskawaih menarik diri dari
segala aktifitas yang berhubungan dengan kerajaan, dan mulai menekuni
dunia tulis menulis dan mengarang beberapa kitab, diantaranya tentang
filsafat, adab, kedokteran, akhlak, dan sejarah. Miskawaih adalah
penganut faham syi’ah—meskipun banyak yang mempertentangkannya—dan
wafat pada 9 shafar 421 H.
Metodologi
Penulisan Sejarah ala
Miskawaih
Miskawaih
terkenal sebagai penulis tematis, karena beberapa kitabnya hanya
memaparkan tema yang ditentukan dalam daftar isi tanpa tambahan
sedikitpun. Kalau diperhatikan dari beberapa bukunya, Miskawaih
cenderung menggunakan bahasa yang lugas dan jelas “Ikhtizal”.
Dalam blantika studi historis, para penulis maupun pembahas sejarah
abad setelahnya senantiasa mengkaitkan Miskawaih dengan Imam Thabari
karena kedua penulis ini adalah pakar dalam ilmu sejarah, sehingga
kerapkali peristiwa-peristiwa yang disebutkan oleh keduanya mempunyai
kesamaan sanad maupun matan. Meskipun demikian terdapat perbedaan
diantara keduanya yaitu dalam methode penulisan.
Disini penulis akan
mencoba memaparkan beberapa perbedaan methode penulisan sejarah ala
Miskawaih dengan Imam Thabari.
Perbedaan
mendasar yang dapat kita dapatkan saat membaca kitab Tajarub
al-Umam dengan Tarikh
al-Thabari adalah segi penggunaan bahasa.
Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa Miskawaih tidak bertele-tele
dalam menjelaskan nash sejarah, berbeda dengan Thabari yang lebih
detail dan terperinci pada setiap pemaparan sejarah. Beberapa
peristiwa besar yang ditulis oleh Miskawaih memang diambil dari kitab
Thabari dengan cara membahasakannya sendiri dengan bahasa yang lebih
sederhana, singkat, jelas dan menjauhi perincian yang tidak berfaedah.
Miskawaih selalu memakai bahasa yang dinamis sebagaimana dia
mengungkapkan teks dengan bentuk yang memberi pemahaman luga atas
kejadian sejarah tanpa bertele-tele, Miskawaih tidak pernah ragu
untukmembuang potongan kejadian pada teks sejarah dengan tidak
mengurangi subtansi peristiwa-peristiwa yang esensi. Pemikiran yang
praktis selalu menyertainya dalam menguraikan sejarah meski pada nilai
teks sekecilpun yang dipindah dari sumber sejarahnya, begitu juga
kelaikan menceritakan sejarah yang biasa dibumbui dengan tanbahan
panjang lebar tidak ada artinya pada nilai sebuah cerita dan
kandunganya.
Dalam
mengambil nash sejarah pada kitab Thabari, tak jarang Miskawaih
mengkritik beberapa cerita yang tidak masuk akal. Secara umum dalam
menyikapi peristiwa yang terjadi diluar jangkauan akal manusia,
Miskawaih menolak dan tidak disertakandalam bukunya, seperti hal gaib
dan khurafat,
karena khurafat—menurutnya—adalah
suatu fenomena yang mustahil dan tidak ada faedahnya untuk diketahui.
Mukjizat Nabi termasuk hal yang tidak disebut dalam penulisanya karena
berhubungan dengan hal gaib, juga beberapa peperangan yang dipimpin
oleh Rasulullah, karena semua itu adalah berkat pertolongan Allah,
kecuali jika berhubungan dengan tingkah laku yang manusiawi seperti
perang Khandak, kemenangan yang diraih pada perang Khandak adalah dari
usaha para sahabat sendiri dengan menggali parit-parit di daerah
perbatasan.
Dari mekanisme
diatas kita dapat menyimpulkan bahwa Miskawaih telah mengambil sikap
terhadap mithologi dan legenda, maka kita tidak akan pernah menemukan
masalah-masalah gaib dalam buku sejarahnya, karna Miskawaih tidak
mempercayainya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil. Sebuah
sebab yang masuk akal jika Miskawaih menolak mithologi dalam methode
penulisannya, masalah ini menjadi sangat jelas jika kita ketahui bahwa
Miskawaih telah memasuki masa sejarah Parsi kuno yang penuh dengan
mithologi dan dongeng-dongeng, hal ini menyebabkan Miskawaih
mengeluarkan hal-hal tersebut diluar luang lingkup kejadian sejarah
tanpa keraguan sedikitpun.
Miskawaih adalah
sejarahwan yang sangat pasif dalam menyikapi segala sesuatu yang
berbau metafisika, sehingga Miskawaih dapat memainkan perannya sebagai
seorang sejarahwan yang selalu meletakan kejadian sejarah pada ruang
lingkup realita. Hal ini sekaligus menunjukkan motif praktis yang
dapat memberi pancaran ilmiyah untuk mendetekdi metodologi Miskawaih
yang mengindikasikan terhadap lemahnya kecenderungan beragama.
Sebenarnya
arah pemikiran Miskawaih seperti ini telah membuat kita ragu pada
beberapa kitab yang diatas namakan pada Miskawaih seperti kitab, “Akhwal
al-Hukama wa Sifat al-Ambiya al-Salaf” dan
yang membikin kita semakin ragu adalah referensi dari Parsi, yaitu
kitab “Roikhaanat al-Adab”
dijadikan sebagai referensi yang terakhir.
Miskawaih
selalu dapat membersihkan dirinya dari pengaruh madrasah
diniyyah yang didirikan oleh Thobari, jadi
meskipun Miskawaih banyak mengambil dari Thobari, namun ia tidak
terpengaruh oleh profiln Thobari yang khas secara subtansi. Maka
Miskawaih tidak bisa sebagaimana Thobari yang ahli fiqh juga tidak
seorang geografis sebagaimana Mas’udi atau ahli nasab sebagaimana
Baladzri. Miskawaih adalah seorang filosof akhlak diluar luang lingkup
ilmu sejarah, tapi meski begitu Miskawaih tetap masih mempunyai
keistimewaan tersendiri dalam pandangan dan metodologinya yang
cemerlang tentang sejarah.
Perlu diketahui
bahwa Miskawaih percaya dengan kejadian sejarah yang bersifat
insidental dan menjadikanya sebagai bandingan dari sesuatu yang gaib
dalam setiap penelitiannya terhadap kejadian sejarah, kemudian
berusaha memahaminya diluar ruang lingkup mu’jizat atau sesuatu yang
luar biasa dalam jangkauan akal manusia dengan tidak melupakan sisi
kausalitas kejadian sejarah yang menjadi cirikhasnya.
Dari sini
dapat kita ketahui bahwa sikap Miskawaih berseberangan dengan Thobari,
karna Thobari tidak pernah ragu dalam menjabarkan kejadian-kejadian
sejarah dengan berpegang pada sesuatu yang gaib dan kekuasaan Tuhan,
sementara Miskawaih sebagai seorang sejarahwan yang dalam menjabarkan
sejarahnya hanya berpegang pada sejarah itu sendiri dan
kejadian-kejadian insidental yang diistilahkan dengan “al-Ittifaq”
atau kejadian kebetulan yang sangat tepat.
Dalam
menguraikan sejarahnya, Miskawaih selalu memusatkan pada eksperimen
sejarah yang bermanfaat sebagai suatu sebab yang mendasar didalam
memindah teks sejarah, karena menurut Miskawaih Tajribah
adalah tauladan yang terilhami dari peristiwa sejarah dan dapat
dimanfaatkan oleh generasi setelahnya, sehingga tidak berlebihan jika
kita katakan bahwa teori Miskawaih ini orientasinya futuristik,
berusaha menjadikan kejadian masa lalu sebagai proses kejadian yang
akan datang.
Sejarah
mencatat bahwa Miskawaih adalah sejarahwan yang lain daripada yang
lain. Dalam mengambil nash sejarah selalu mendasarkan pada rasio dan Ijma’.
Rasio memegang peranan penting di dalam menolak atau menerima sebuah
cerita, maka jika rasio tidak menerima apa yang terkandung dalam
sebuah cerita, berarti cerita tersebut tidak dianggap sahih, dengan
begitu rasio menurut Miskawaih adalah pusat terpenting. Sementara ijma’
atau kesepakatan adalah sebagai pembantu
dari mekanisme tesebut dengan syarat tidak bertentangan dengan akal.
Rasionalitas yang dijadikan patokan ini membuat Miskawaih selalu
menolak cerita yang di besar-besarkan, seperti cerita klasik yang
mengisahkan jumlah pembunuhan yang tidak masuk akal, atau cerita
raja-raja dahulu tentang mahkota kebesaran pada keadaan dan tingkah
lakunya yang diatas kewajaran.
Gaya Eklektik
yang merupakan keunggulan Miskawaih telah menjadikannya berpegang pada
“pembenaran”
dalam penyaringan peristiwa sejarah, kemudian mengkaitkannya dengan
tema penulisan. Standar pembenaran yang digunakan Miskawaih disini
adalah ilmu usul dan kelaikan suatu peristiwa. Meskipun Miskawaih
terkenal dengan sejarawhan yang praktis, namun pada beberapa kejadian
sejarah yang ditulisnya terdapat penjabaran yang sangat detail
kemudian mengkemasnya dan menutupi perinciannya tersebut dengan
kemasan yang rapi sehingga tidak terkesan adanya pemborosan bahasa.
Ketika
berbenturan dengan kemustahilan suatu peristiwa, Miskawaih tidak
segan-segan untuk mengambil “al-Ikhalah”
atau referensi dari sumber lain. Sesungguhnya metodologi referensi
tersebut merupakan salah satu cara ilmiyah yang dipergunakan Miskawaih
secara elastis dan tepat demi menjaga unit judul. Metodologi Ikhalah
ini adalah sebuah metodologi yang hampir tidak pernah ditinggalkan
oleh penulis-penulis lain dalam menentukan suatu nash yang sahih
sebagaimana juga Thabari.
Dalam
mecapai kebenaran sejarah Miskawaih selalu mempelajari pertentangan
antara teks dan membandingkan antara satu dengan lainnya, kemudian
ditetapkan kebenaran ataupun kekeliruannya. Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa Miskawaih adalah sejarahwan pragmatis dalam
penulisan sejarah arab.
Karya-karya
Miskawaih
Miskawaih
termasuk penulis yang produktif pada masanya. Tidak hanya bidang
sejarah saja yang berhasil diselesaikannya, namun ilmu-ilmu lain
seperti, kedokteran, etika, mantiq, psikologi, filsafat, adab, dll.
Diantara buku-buku Miskawaih yang telah beredar adalah : Adab
al-Dunia Wa al-Din (kitab tentang etika), Kitab
Fi al-Adawiyah al-Mufrodah (tentang ilmu
kedokteran), Tajarub al-Umam (tentang
sejarah), Haqaiq al-Nafs (tentang
ilmu jiwa), al-Fauzul Akbar (tentang
filsafat), al-Mustaufa (kumpulan
syair-syair arab), dll.
Penutup
Dalam kacamata
sejarah penulisan, Miskawaih sering dijuluki sebagai plagiator, penipu,
politikus, dll. dan orang lebih sering mengenal Miskawaih sebagai
filosof dan ahli etika katimbang sebagai sejarahwan. Satu hal yang
tidak bisa dilupakan bahwa Miskawaih adalah sejarahwan yang berhasil
menemukan satu metodologi praktis (tematis) yang sering dijadikan
acuan penulis generasi setelahnya, karena kitabnya termasuk dijadikan
terminal referensi. Secara matan memang sedikit banyak mengambil dari
Thabari, namun Miskawaih bisa menciptakan metodologi baru yang berbeda
dengan Thabari sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
*Mahasiswi tingkat
III. fak. al-Lughoh al-Arobiyyah, univ. al-Azhar li al-Banat. |